Category: Homilies

  • Good Friday 2025 Homily Transcript, Good Shepherd Catholic Church, Batu (Indonesian)

    The homily given at Good Shepherd Catholic Church, Batu for Good Friday 2025 was one of the best homilies I heard in a long time. The priest (Rm. Frans Borta Rumapea, O.Carm.) talked about sacrifice, love, and submission to the will of God. Please enjoy the transcript I made along with the recording. God bless you all!

    Bapak, ibu, saudara-saudari yang dikasihi Tuhan.

    Pada umumnya, manusia tidak suka mengingat masa lampau yang menyakitkan, masa lampau yang kelam. Tetapi, orang lebih suka mengingat-ingat kenangan manis yang indah di masa lampau. Maka kita mengenal apa yang disebut dengan sweet memories. Sweet memories never go. Sedangkan, manusia (unclear) tidak suka apa yang mungkin menjadi luka batin / inner wound. Dengan kemajuan teknologi sekarang, sedikit-sedikit dibuat foto, foto kenangan, seperti sakramen kedelapan, seperti wajib. Menurut ilmu psikologi, semakin banyak foto kita pada mobil itu, semakin gampang kita melupakan.

    Kisah sengsara Tuhan dalam arti yang sebenarnya adalah kisah sedih. Skandal bagi orang Romawi, malu bagi orang Yahudi. Maka, mestinya orang melupakan. Tetapi, kalau kita memperhatikan Injil Sinoptik, terutama Markus, begitu besar porsinya hidup Yesus yang 3 hari. Hidup Yesus 3 hari mendapat porsi yang sangat besar. Para Rasul tidak berusaha menutup-nutupi ini: Bahwa Tuhan kita, Yesus Kristus, wafat di salib. Sejarawan pada waktu itu menulis bahwa Yesus itu wafat kurang lebih pada abad yang pertama Masehi, tahun 30 sampai 33, tanggal 14 Nisan dalam penanggalan orang Yahudi. Tidak disembunyikan, tetapi disampaikan pada kita. Kita tidak takut bahwa itu akan menjadi bahan tertawaan. Meskipun di zaman sekarang ini, masih banyak orang yang mengejek orang Kristen, orang Katolik, “Allah kok matek (mati)?” Begitulah kata mereka. Tetapi, kita tidak berusaha untuk menutup-nutupinya.

    Yesus disalib bukan hanya penderitaan demi penderitaan. Tetapi, penderitaan karena dosa kita, karena kesalahan kita, karena cinta. Dalam Bahasa Inggris, Jumat Agung disebut juga Good Friday. Artinya adalah orang baik meninggal. Bagaimana rasanya kalau kita tahu orang itu, orang baik itu, meninggal? Orang merasa iba, rasanya tidak siap, tidak rela, ketika orang itu meninggal. Dia tidak disalibkan karena kesalahan, yang sebenarnya tidak ada alasan bahwa Yesus harus dihukum mati karena Pilatus tidak menemukan kesalahan apapun. Hukuman Yesus adalah hukuman pengganti yang seharusnya dilimpahkan kepada kita manusia berdosa.

    Bapak, ibu, saudara-saudari yang terkasih, apa yang bisa kita renungkan pada Jumat Agung 2025 ini?

    Yang pertama, mari kita menyadari bahwa secara alamiah, kita ini sebenarnya menghindari sakit, menghindari luka. Sebenarnya, Tuhan menganugerahkan kepada kita secara refleks, kita akan menghindar. Tetapi, manusia juga sebenarnya diyakinkan, disadarkan bahwa penderitaan sebenarnya bagian dari kehidupan kita. Bisa itu penderitaan karena kesalahan orang lain. Penderitaan itu juga bisa terjadi karena alami. Kita menjadi tua, kita semakin TOP (tua, ompong, peyok). Jadi, ada penderitaan. Maka, orang harus berani juga menerima rasa sakit ini. Jangan sampai putus asa! Yang ketiga saudara-saudariku terkasih, ada juga penderitaan itu karena kita mau demi orang lain yang kita cintai. Tetapi, penderitaan itu semakin bernilai ketika orang yang kita tuju itu sebenarnya tidak terlalu istimewa bagi kita. Misalnya seperti dengan para pemadam kebakaran, para pejuang-pejuang hak, yang berani mengorbankan nyawanya, yang tidak takut menderita. Mereka ini adalah gambaran-gambaran dari Yesus. Penderitaan itu sesuatu yang tidak bisa kita hindarkan. Tetapi, sesungguhnya, Yesus itu bisa juga menghindar dari penderitaan ini karena Ia adalah 100% manusia, 100% Allah. Tetapi, Dia mau menderita supaya Ia juga memberikan contoh teladan kepada kita semuanya. Yesus menjadi contoh sejati pemberian diri dengan rela menderita.

    Kitab Yesaya sudah mengatakan kepada kita bahwa Yesus menggenapi nubuat Yesaya:

    “Tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadaNya, dan oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5)

    Maka, ketika kita mengalami rasa sakit / penderitaan, bagaimana kita bisa juga menggabungkan penderitaan kita itu dengan penderitaan Tuhan kita, Yesus Kristus? Apakah Yesus sungguh-sungguh merasakan rasa sakit? Didera? Disiksa? Pasti. Karena Ia adalah manusia tetapi juga sekaligus Allah. Ia sekali lagi tidak menghindar dari penderitaan itu. Ia memilihnya secara sadar supaya kita diberikan contoh teladan. Ketika penginjil menulis bahwa seorang murid tidak pernah melebihi guru (Lukas 6:40), maksudnya bukan pendidikannya. Kalau kita melihat pendidikannya, sudah banyak murid melebihi gurunya. Guru yang dulu waktu SD, sekarang muridnya sudah menjadi S3 atau professor. Seorang murid tidak pernah melebihi guru adalah kita tidak pernah melebihi penderitaan Tuhan.

    Saudara-saudariku yang terkasih, kata terakhir yang disampaikan oleh Yesus dalam Injil tadi adalah tetelestai (sudah selesai). Apa artinya sudah selesai? Sudah selesai itu tidak hanya sekadar sudah menyelesaikan tugasNya. Tetelestai itu tidak hanya mengatakan sudah tuntas penderitaanKu. Kata orang Jakarta: Udah kecapai. Kata orang Jawa: Wes kelakon. Tetelestai yang disampaikan oleh Yesus adalah “Bapa, Kukerjakan semua sampai tujuannya. Kuserahkan semuanya kepadaMu (Allah Bapa).” Penyerahan diri. Maka, salah satu aspek yang sangat penting dalam diri orang Katolik adalah berserah diri. Sebagaimana Yesus telah mengatakan tetelestai, Ia juga akhirnya menyerahkan diriNya kepada Allah Bapa.

    Bapak, ibu, saudara-saudariku yang terkasih, kalau kita tadi mengikuti Passio, ada banyak tokoh yang disampaikan kepada kita. Ada nama orang-orang terkenal yang disampaikan kepada kita: Ada Yesus, ada Para Rasul, ada Maria, ada Herodes, ada Pilatus, ada Yusuf dari Arimatea, ada Nikodemus, ada Veronika, …, Simon dari Kirene. Mereka dengan karakter, dengan sifat, dengan sikap, dengan keputusan, dengan reaksi masing-masing. Mari kita merenungkan, kira-kira kita ini mau diidentifikasikan dengan siapa. Tokoh siapa yang mau kita tiru? Apakah Pilatus, yang takut kekuasaanya hilang sehingga ia tidak mau mengatakan apa yang benar? Apakah ahli-ahli Taurat Farisi yang membebankan orang lain? Apakah kita seperti Veronika? Seperti Simon dari Kirene, yang rela berbagi beban? Seperti Nikodemus? Ini semua dapat kita contoh, tetapi juga sekaligus dapat kita hindari karakter-karakter yang ditampilkan dalam Injil pada hari ini.

    Bapak, ibu, saudara-saudariku yang terkasih, pada Jumat Agung ini, kita akan sebentar lagi menghormati salib. Kalau kita hitung, ini sebenarnya sangat kecil pengorbanan kita. Tetapi, bagi Yesus, ini luar biasa. Melalui simbol penghormatan salib, disampaikan kepada kita, kita diajak memberi penghormatan kepada Tuhan Yesus. Kita berterima kasih kepada Yesus. Melalui penghormatan salib nanti, kita juga diajak memperbarui komitmen kita. Maka setiap kali kita merayakan Jumat Agung, sebenarnya sekali lagi kita disadarkan akan komitmen kita.

    Semoga kita menjadi orang Katolik yang kuat! Yang militan! Yang tidak gampang goyah! Yang tidak gampang menyerah!

    Pada Jumat Agung ini, Yesus tidak menghindar, maka bagus kita juga berdoa ketika hari-hari sulit datang dalam kehidupan kita (tidak usah dicari, itu juga pasti akan datang). Jangan hanya berdoa kepada Tuhan jauhkan kesulitan, jauhkan penderitaan. Berdoalah juga kepada Tuhan untuk kaki yang kuat, pikiran yang kuat, tangan yang kuat. Ketika penderitaan datang dalam hidup saya, saya mampu juga menjalaninya.

    Bapak, ibu, saudara-saudariku yang terkasih, tetelestai, itulah ungkapan sekali lagi dari Yesus. Akan ada saatnya kita juga akan mengatakan tetelestai ketika kita meninggalkan dunia ini. Yesus mengatakan tetelestai, sudah selesai, karena tugasNya sudah tuntas. Semoga saat nanti tiba waktunya bagi umat Katolik, kita juga mampu mengatakan tetelestai ketika waktu kita sudah tiba.

    Semoga Jumat Agung 2025 ini membawa semangat baru kepada kita, semakin rela berkorban. Acara selama Pekan Suci ini berjalan dengan baik itu tidak terlepas dari banyak orang yang bekerja keras sehingga berjalan dengan baik. Semoga Jumat Agung ini sekali lagi juga memperbarui komitmen kita agar kita menjadi semakin rela berkorban, terhadap anak kita, terhadap suami yang semakin tua, terhadap istri yang semakin rewel, terhadap mertua yang semakin lincah, dan lain sebagainya. Semoga kita semakin kuat menghadapi situasi-situasi yang tidak mengenakkan.

    Tuhan memberkati.